KIAT KIAT IRC DALAM MEMPERTAHANKAN DOMINASINYA  

Posted by IRC dan Smak2 in



Lebih dari dua dasawarsa posisi IRC tak tergoyahkan sebagai pemimpin pasar ban sepeda motor nasional. Apa saja yang membuatnya begitu digdaya?
“Saya sudah dua kali ganti sepeda motor, dan bannya selalu memakai merek IRC. Selain memang sudah terkenal, kualitas bannya bagus dan relatif kuat. Saya puas memakainya,” celoteh Indra, staf delivery order sebuah resto siap saji terkemuka. Di kalangan pengguna sepeda motor, ban merek IRC tampaknya memang punya brand image kuat.

Penguasaan pasarnya pun dominan. Sejak diproduksi tahun 1981, IRC langsung mencengkeram pasar ban sepeda motor di Tanah Air. Bahkan, tahun 2005 menjadi momen mengesankan bagi IRC. Seiring boom industri sepeda motor di Indonesia, penjualan ban IRC pun terdongkrak. Dari total penjualan ban sepeda motor nasional sekitar 11 juta unit pada 2005, sebanyak 8,4 juta dikontribusi oleh IRC. Dengan angka penjualan itu, menempatkan PT Gajah Tunggal – produsen ban IRC – sebagai produsen ban sepeda motor terbesar ketiga di dunia setelah produsen ban asal Cina dan India. Pada 2006, dominasi pasarnya pun masih kukuh.

Diperkirakan pangsa pasarnya lebih dari 75%. Para pesaingnya, seperti Surya Rubber dan Dunlop, berada jauh di belakangnya. Menurut Harry Kalisaran, GM Pemasaran PT Gajah Tunggal (GT), sejauh ini porsi terbesar penjualan IRC diperoleh dari pasar ritel – istilah khususnya pasar replacement – yakni sebesar 70%; sedangkan sisanya 30% dikontribusi dari pasar pabrikan alias original equipment manufacturer (OEM). Toh, dengan porsi 30% saja dari total penjualannya, menurut klaim Harry, IRC menguasai 70% pasar OEM.

Awalnya, Harry menyebutkan, GT menyuplai 100% ban IRC untuk pabrikan, seperti Honda, Yamaha, Suzuki dan Vespa. Namun, sekarang jumlah pesanan dari OEM ini berkurang, terutama Honda (tinggal 12%-15% ban Honda). Sementara suplai untuk OEM lainnya hanya turun sedikit, seperti: Yamaha sebesar 98% ban dari 3 juta unit yang dibutuhkannya; Suzuki 60%; Kymco 98%; bahkan Kawasaki masih 100%; dan beberapa OEM lainnya.

Klaim Harry setidaknya dibenarkan Dyonisius Beti, Wapresdir PT Yamaha Motor Kencana Indonesia. Menurut pria yang akrab dipanggil Dyon ini, saat ini sebagian besar sepeda motor Yamaha memakai ban IRC – kecuali untuk jenis matik yang memakai ban Dunlop. “Kerja sama dengan IRC sudah lama. Komitmen kerja samanya dibuat setiap satu tahun,” ucap Dyon. Produksi ban IRC untuk Yamaha tentunya mengikuti jumlah demand terhadap motor Yamaha. Dyon mengklaim, selama kurun waktu 2002-2006 permintaan Yamaha tumbuh sampai 426%.

Untuk menopang permintaan pasar, GT membangun pabrik IRC di Tangerang, Banten, dengan volume produksi 40 ribu per hari untuk ban luar. Adapun untuk ban dalam, volume produksinya 70 ribu per hari. Secara keseluruhan, sekitar 80% produksi ban IRC ditujukan untuk jenis motor bebek; 7%-8% untuk skutik; dan sisanya untuk motor sport. Ban IRC ini memiliki kandungan lokal berupa karet alam sekitar 70%; sedangkan sisanya (30%) – yang terdiri dari bahan carbon black, kit wire, dan bahan kimia lainnya – masih diimpor.

Harga yang dipatok GT untuk produk ban IRC, yakni: ban motor bebek dijual di kisaran Rp 50-80 ribu per unit; dan ban motor sport dijual seharga Rp 90-100 ribu per unit. Harga jual yang dibanderol IRC relatif lebih mahal dibandingkan dengan ban-ban sepeda motor merek lainnya.

Faktor kualitas, diklaim Harry, merupakan faktor yang menyebabkan IRC bisa tetap konsisten mendominasi pasar. “Faktor kuncinya adalah kualitas yang prima. Itu yang membuat kami dapat kepercayaan,” ujar Harry membanggakan diri. Toh, klaim Harry itu dibenarkan Dyon. “Kelebihan IRC dibanding vendor lain adalah mampu secara konsisten menyediakan ban sesuai dengan kualitas yang diminta prinsipal Yamaha di Jepang,” kata Dyon memuji.

Selain kualitas, menurut Harry, rahasia sukses IRC juga karena bersedia memenuhi kebutuhan pelanggannya. Untuk OEM langganan, misalnya, IRC tak ubahnya “tukang jahit”. Bayangkan, ketika sebuah OEM hendak meluncurkan sepeda motor baru, biasanya pabrikan ini memesan ban dengan spesifikasi tertentu, seperti pola, komposisi bahan dan ukuran. Saat ini, seperti diklaim Fenton Salim, Manajer Penjualan GT, ban IRC memiliki lebih dari 30 macam pola. Jika dikaitkan dengan ukuran bisa mencapai lebih dari 100 pola. Karenanya, Fenton berani menjamin dibanding para pesaingnya, ban IRC memiliki pola dan ukuran yang paling lengkap. Alhasil, ban IRC bisa menjangkau semua segmen pasar. “Pesaing hanya mengambil segmen tertentu, yakni yang modelnya laku saja; sedangkan kami memasuki semua segmen, baik yang laku maupun kurang laku,” ungkap Fenton.

Untuk menguji kualitasnya, tes produk IRC juga dilakukan GT bersama para pelanggan OEM-nya. ”Tesnya cukup berat karena masing-masing prinsipal berbeda spesifikasinya. Tes pun tidak cukup sekali, setelah di sini mereka membawa ke pusat di Jepang untuk dites lagi. Lalu balik ke sini dites lagi. Terakhir kami lakukan pula road test,” papar Harry. Sudah begitu, produk yang masuk ke OEM pun harus mengikuti standar tertentu. Ban IRC sendiri, diklaim Harry, karena banyak menyuplai OEM Jepang, maka mengikuti standar dari Japan Industrial Standard (JIS), di samping standar global (ISO) dan nasional (SNI).

Faktor lain yang turut menopang dominasi IRC di pasar adalah kekuatan distribusi. Menurut Harry, di tiap kota atau provinsi pihaknya memiliki agen untuk mengoordinasi penjualannya. Saat ini agen penjualan IRC tersebar di 37 titik di seluruh Nusantara. ”Rata-rata semua daerah sudah kami jangkau karena satu distributor jangkauannya kan beberapa kota. Sampai di Papua kami juga ada,” Harry memaparkan. Kepada para agen ini dibebankan target bisa menjual dalam jumlah tertentu, dan kalau terlampaui bakal diberikan reward.

Langkah promosi pun ditempuh IRC. Kegiatan below the line-nya, antara lain mengikuti ajang pameran sepeda motor yang rutin diselenggarakan setiap tahun, serta menyelenggarakan road race dan mensponsori beberapa kejuaraan balap motor. Selain itu, ada pula kegiatan push marketing berupa pemberian hadiah undian kepada toko-toko, serta pemberian penghargaan untuk toko dan bengkel yang mencetak penjualan terbaik di wilayahnya. Di samping itu, langkah promosi above the line dengan cara beriklan secara rutin di media cetak.

Untuk bisa terus menjadi pemimpin pasar, Harry mengatakan, pihaknya akan tetap peduli mengenai masalah mutu produk. Selain itu, inovasi produk pun terus dilakukan, seperti mengembangkan pola dan model baru, ataupun menggunakan komponen baru guna mengikuti kemauan pasar.

Pasar ekspor? Harry mengaku belum punya rencana ke sana. Ia memang menyebutkan IRC masih akan fokus menggarap pasar dalam negeri. Pertimbangan bisnisnya, dibandingkan dengan Thailand, India, Cina dan Vietnam, untuk ban sepeda motor bebek (110 cc) potensi pasar terbesar masih di Indonesia. Pasalnya, di negara-negara yang disebut itu, umumnya sepeda motornya sudah berkapasitas 200 cc. “Jadi kalau kami ingin ekspor pun pasarnya kecil,” Harry menegaskan.

Untuk 2007, Harry berani menargetkan penjualan bakal meningkat 10%-15%. Padahal, sekarang tingkat persaingan tidak lagi sesepi dahulu. Terlebih, ada juga OEM yang memproduksi ban sendiri, seperti Honda yang membuat ban Federal.

Toh, di mata Aziz Pane, Ketua Asosiasi Pengusaha Ban Indonesia, kedigdayaan IRC mendominasi pasar ban sepeda motor di Indonesia sebagai suatu hal yang wajar. Menurut Aziz, IRC merupakan salah satu pelopor ban sepeda motor di Indonesia – di samping Kingstone, Nito, Kingland, Swallow dan Arigamira. Menariknya, dari semua pabrikan ban hanya Sjamsul Nursalim – pemilik GT – yang memang benar-benar berasal dari pengusaha ban. “Sjamsul itu sejak 1960-an sudah membuat ban becak dan menguasai pasar di Jakarta khususnya. Setelah itu, Sjamsul begerak mengembangkan divisi ban motor dan ban mobil. Setahu saya, yang lain itu bukan dari pengusaha ban,” ungkapnya.

Aziz juga menilai IRC memang memiliki beberapa keunggulan dibanding pesaingnya. Antara lain, IRC merupakan ban pertama yang memakai teknologi dari Jepang, sedangkan pemain lainnya memakai teknologi lokal atau Taiwan. Karenanya, lanjut Aziz, selain kualitas ban lebih kuat, model atau desainnya pun lebih up to date. Selain itu, dari segi pemasaran, strategi co-branding-nya dengan beberapa pabrikan motor (OEM), seperti Honda, Yamaha, Suzuki, Kawasaki dan Vespa, dinilainya cukup jitu. “Sejak awal IRC sudah masuk ke OEM. Dan ini menguntungkan sekali buat IRC, karena mayoritas pengguna motor akan meminta replacement ban IRC seperti ban originalnya,” kata Azis.

Cucu Darmawan, GM PT Dunlop Indonesia, mengakui keunggulan historis yang dimiliki IRC. Ia pun menilai wajar, hingga sekarang Dunlop masih tercecer jauh dibanding IRC. Dunlop sendiri masuk Indonesia relatif baru, yakni pada 1997. Di samping relatif baru, lanjut Cucu, selama ini Dunlop juga lebih fokus ke segmen ban mobil. Sebagai gambaran, pada 2005 produksi ban mobil Dunlop sebanyak 12 juta unit, sedangkan produksi ban sepeda motornya hanya 2,5 juta unit – itu pun 15%-nya diekspor. “Dengan posisi market share ketiga, ya sudah cukup bagus,” kata Cucu menghibur diri.

Jadilah untuk sementara ini IRC seperti melenggang sendirian di pasar ban sepeda motor nasional.

IRC RAIH TOP BRAND AWARD  

Posted by IRC dan Smak2 in



Kestabilan pada segala tingkat kecepatan dan lintasan, umur pakai yang panjang dan kenyamanan adalah manfaat yang ditawarkan IRC sebagai bukti kepedulian terhadap penggunanya. Mengutamakan kualitas dan kepedulian terhadap pelanggan mampu menempatkan IRC menjadi merek yang sukses berada di posisi teratas dalam benak pengguna ban motor di Indonesia. Efek domino yang terjadi adalah loyalitas konsumen terhadap ban motor IRC produksi PT Gajah Tunggal Tbk. Faktor-faktor inilah yang menjadi kunci keberhasilan IRC mendapat penghargaan Top Brand Award tiga tahun berturut-turut. Prestasi membanggakan ini selain membuktikan keunggulan IRC, juga menjadi motivasi untuk terus memberikan hanya yang terbaik bagi pengguna ban IRC.

Gajah Tunggal Akan Genjot Produksi Ban  

Posted by IRC dan Smak2 in



Produsen ban terbesar di Indonesia PT Gajah Tunggal Tbk. menganggarkan dana US$ 50 juta tahun ini untuk meningkatkan kapasitas produksinya. Langkah itu juga dimaksudkan untuk memenuhi kenaikan permintaan ban akibat melonjaknya penjualan mobil akibat murahnya dana pinjaman bagi konsumen.

"Kami akan menggalang pendanaan dan masih mencari-cari opsi (yang tepat)," kata Direktur Gajah Tunggal Catharina Widjaja, seperti dilansir kantor berita Bloomberg kemarin. "Kami dapat menjual saham, obligasi, atau mencari pinjaman bank sindikasi."

Gajah Tunggal berencana meningkatkan kapasitas produksinya dari 77 ribu per hari menjadi 105 ribu ban per hari pada awal 2006. Perusahaan ini memproduksi ban radial dan ban sepeda motor.

Penurunan tingkat suku bunga perbankan ke level terendah dalam kurun enam tahun terakhir membuat dana pinjaman bank untuk terbilang murah. Akibatnya, konsumsi mobil, motor, dan telepon seluler meningkat signifikan.

Menurut data yang dilansir Asosiasi Industri Otomotif Indonesia pada 14 Januari lalu, penjualan otomobil di dalam negeri sepanjang tahun lalu telah meningkat 36 persen menjadi 483.295 unit. Seiring dengan itu, penjualan motor pun meningkat 38 persen, menjadi 3,89 juta unit.

"Permintaan ban domestik telah meningkat 10-15 persen per tahun dalam beberapa tahun terakhir," kata Ketua Asosiasi Pembuat Ban Indonesia Aziz Pane pekan lalu. "Kondisi ini," ia menambahkan, "ada kemungkinan akan berlanjut tahun ini."

Tahun lalu jumlah ban yang berhasil dijual oleh para produsen ban di Indonesia, termasuk Gajah Tunggal, mencapai 35 juta unit. Dari jumlah itu, kata Pane, 10,6 juta unit dipasarkan di dalam negeri. Sedangkan sisanya untuk ekspor.

Gajah Tunggal kini sekitar 10 persen sahamnya dimiliki oleh Michelin & Cie, produsen ban terbesar di Eropa. Semula, perusahaan ban yang berdiri pada 24 Agustus 1951 ini dikuasai sepenuhnya oleh konglomerat Sjamsul Nursalim sebelum akhirnya diserahkan ke negara (BPPN) dalam rangka penyelesaian utangnya.

Pabrik Gajah Tunggal berlokasi di Tangerang, Jawa Barat. Ruang lingkup bisnisnya meliputi bidang industri pembuatan barang-barang dari karet, termasuk ban dalam dan ban luar untuk segala jenis kendaraan dengan merek Gajah Tunggal (GT), Yokohama, dan IRC. Saham produsen ban ini telah dicatatkan di Bursa Efek Jakarta terhitung sejak 8 Mei 1990.

Gajah Tunggal: "A Leading Tire Manufacturer in South East Asia"  

Posted by IRC dan Smak2 in




Kenya dan Ethopia dikenal sebagai penghasil jagoan lari jarak menengah dan jauh dunia.
Kemampuan Kenya dan Ethopia yang semacam itu sempat mengilhami salah satu negeri kaya di Timur Tengah untuk merekrut pelari dari negara tersebut dan kemudian melakukan naturalisasi. Ini menggambarkan betapa desperate-nya mereka untuk mendapatkan pelari berprestasi di tingkat internasional. Padahal mereka sudah melakukan berbagai cara agar bisa menghasilkan pelari berkelas dunia dari negeri sendiri.
Memang banyak yang penasaran dengan kemampuan dua negara tersebut dalam menjadi pelari kelas dunia di jarak menengah dan jauh selama bertahun-tahun. Terlepas dari adanya faktor bakat, tentu negara tersebut memang punya sistem untuk mengenali bakat-bakat baru dan bisa mengasahnya, sekalipun negera tersebut bukan negara yang kaya. Singkat kata, kedua negara itu memang jeli menekuni sesuatu yang mungkin jauh dari glamour tapi kemudian bisa mengembangkannya sehingga disegani dunia selama bertahun-tahun.

Di dunia bisnis Indonesia ada perusahaan yang muncul sebagai pemain internasional karena bisa me-leverage keunikan sebagai perusahaan asal Indonesia. Di dunia, Indonesia dikenal sebagai salah negeri penghasil karet terkemuka dunia. Tentu posisi semacam ini semestinya bisa memungkinkan munculnya perusahaan kelas dunia produk olahan karet.

Inilah hal yang dilakukan oleh PT Gajah Tunggal Tbk (GJTL) sebagai salah satu pionir industri ban Indonesia.PT ini memulai kariernya sebagai produsen ban sepeda pada tahun 1951. GJTL kini telah berkembang menjadi salah satu pabrik ban terbesar di Asia Tenggara. Sejak memulai produksi ban sepeda motor pada tahun 1971, disusul oleh kontrak kerja sama dengan Inoue Rubber Company pada tahun 1973, kini GJTL adalah pemimpin pasar replacement tire bagi sepeda motor dengan merk IRC, dimana mereka memegang sekitar 62 persen pangsa pasar.
Langkah GJTL di tahun 1981 saat mulai melakukan produksi ban “bias”, yaitu ban untuk kendaraan berpenumpang dan kendaraan niaga, merupakan langkah strategis yang berhasil menjadikan GJTL market leader pula untuk replacement tire kategori ini, dengan pangsa pasar sekitar 46 persen. Sekitar tahun 1990an, GJTL mulai memasuki pasar passenger car dengan produksi ban radial yang dipasarkan dengan merk GT Radial.
GJTL memang sudah menjadi perusahaan taraf Internasional, bukan saja karena jumlah ekspor perusahaan yang mencapai 46 persen dari total penjualan perusahaan pada tahun 2007, tetapi juga karena berbagai standarisasi dan sertifikasi internasional yang berhasil diperolehnya, antara lain: E-Mark (Eropa), TUV CERT (Jerman), BPS (Filipina), Inmetro (Brazil), PAI (Kuwait), SASO (Arab Saudi), dan BVQI (Kolumbia). Ini tentunya mempermudah GJTL untuk menembus pasar internasional, terutama Eropa, yang sangat ketat dalam hal standarisasi produk.
Karena itu, kalau kita melakukan search di google.com (bukan yang versi Indonesia) dengan keyword “GT Radial”, kebanyakan hasil di halaman utama adalah mengenai penggunaan ban merek ini di negara-negara seperti Australia, Kanada, dan Inggris. Memang produk ini cukup dikenal sebagai sebagai ban pilihan untuk pembeli yang value oriented di berbagai negara. Beberapa masyarakat Indonesia pun mungkin awalnya juga tidak menyangka kalau merek ini berasal dari Indonesia, sebelum menyadari bahwa GT adalah singkatan dari Gajah Tunggal.

Dengan kemampuan menghasilkan produk yang sesuai dengan standar internasional, GJTL berhasil mendapatkan kepercayaan dari merek-merek luar negeri yang ingin melakukan produksi ban di Indonesia. Dua perusahaan yang dulu pernah bekerja sama adalah Pirelli (hingga 2001) dan Yokohama (hingga 1995). Sedangkan perusahaan dunia yang kini masih mempercayai GJTL untuk produksi merek ban mereka adalah Nokian sejak 2001 dan Michelin sejak 2004. Kepercayaan Michelin yang tinggi terhadap GJTL mungkin dapat dilihat dari volume produksi yang dilakukan. Tahun 2007, GJTL memproduksi sekitar 2,1 juta ban untuk mereka, dengan target kedepan sebesar 5 juta ban per tahun pada tahun 2010.
Demi untuk mendukung berbagai kerjasama external ini mungkin alasan mengapa GJTL mulai melakukan langkah ekspansi pada tahun 2005. Target perusahaan adalah meningkatkan kapasitas produksi ban radial menjadi 45.000 ban per hari dari 30.000 perhari saat ini, dan kapasitas produksi ban sepeda motor menjadi 105.000 ban per hari dari sekitar 40.000 per hari saat ini.
Dengan kekuatan ini, ditambah pengalaman selama 30 tahun di industri ban, serta didukung lebih dari 10 ribu karyawan, GJTL memang bisa dikatakan sebagai salah satu raksasa industri ban di Indonesia. Tapi tentunya perusahaan tetap ingin memperkuat posisinya, terutama di pasar dimana mereka masih belum menjadi pemain yang kuat. Salah satunya adalah pasar replacement tire ban radial, dimana GJTL baru memegang sekitar 20 persen pangsa pasar.
Upaya GJTL untuk meningkatkan pasar ban radial domestik adalah dengan mengembangkan Tirezone. Gerai retail ban yang juga menawarkan pelayanan modern ini berfungsi sebagai outlet produk GT Radial, Michelin, dan juga BF Goodrich. Tirezone kini memiliki 30 cabang yang tersebar di seluruh Indonesia. Tirezone adalah buah kerjasama dengan Michelin yang notabene memiliki 10 persen dari saham GJTL.
Dengan mampu terus berkembang memasuki pasar yang potensial ke depan, seperti pasar replacement tire ban radial dan juga pasar OEM, didukung dengan kerjasama yang kuat dengan berbagai perusahaan kelas dunia, GJTL akan berkembang menjadi salah satu produsen ban yang diperhitungkan tidak hanya di Indonesia, ataupun Asia, tapi juga di dunia.

IRC PEDULI HIV AIDS  

Posted by IRC dan Smak2 in



Lebih dari setengah (58% dari 803 ) perusahaan di daerah epidemi HIV/AIDS yang disurvei Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) masih mewajibkan kondisi bebas HIV/AIDS sebagai persyaratan promosi dan rotasi karier.Kepmen No. 68/MEN/ IV/2004 yang ditandatangani Menteri Tenaga Kerja dan Transmigran saat itu, Jacob Nuwawea berisi larangan bagi pengusaha menggunakan tes HIV/AIDS bagi buruh sebagai prasyarat proses rekrutmen atau kelanjutan status pekerja atau buruh dianggap angin lalu. Sementara itu 91% di antaranya tidak mengalokasikan dana tetap untuk mencegah HIV dan AIDS. Hanya sekitar 29% perusahaan menyediakan tes kesehatan rutin bagi pekerjanya, di mana 31% di antaranya memasukkan tes HIV/AIDS.Hal ini terungkap dalam hasil studi ILO bekerjasama dengan lembaga survei PT Taylor Nelson Sofres Indonesia terhadap 803 perusahaan di empat provinsi, yakni DKI Jakarta, Jawa Timur, Kepulauan Riau, dan Papua.Hasil survei tersebut menyebutkan, kebanyakan perusahaan di Indonesia masih menolak merekrut karyawan baru apabila dia diketahui positif mengidap HIV, hanya segelintir perusahaan yang memiliki kebijakan mengenai HIV dan AIDS. “Selain itu ada 50% perusahaan yang melakukan pemutusan hubungan kerja akibat HIV dan AIDS,” papar Programme Officer ILO, Tauvik Muhamad..Survei itu juga menemukan, hanya 10% yang mempunyai kebijakan tertulis tentang HIV dan AIDS. Perusahaan yang menganggap HIV dan AIDS sebagai ancaman mempunyai sejumlah alasan.Alasan tersebut mayoritas terkait dengan soal produktivitas dan tingkat absensi 76%, dampak terhadap rekrutmen dan pelatihan 64%, pengaruh terhadap biaya medis 71%.
Secara umum, sebagian besar perusahaan tidak memberi perhatian memadai terhadap penyakit ini. Papua dan Kepulauan Riau merupakan daerah yang memiliki perhatian besar terhadap dampak HIV dan AIDS.Sebanyak 91% perusahaan tidak mengalokasikan dana tetap untuk pencegahannya. Hanya 29% perusahaan yang menyediakan tes kesehatan rutin bagi pekerjanya.
Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Nasional Nafsiah Mboi dalam diskusi interaktif yang digelar di Café Pisa, Menteng tersebut menyatakan, banyak perusahaan yang menuntut karyawannya melakukan tes HIV/AIDS.“Padahal penanganan terhadap pekerja yang mengidap dua penyakit ini harus dibedakan,” ujar Nafsiah.
Pasalnya pengidap HIV masih dapat bekerja dengan normal tanpa menunjukkan gejala penyakit. Sedangkan berbagai macam penyakit baru (sindrom) baru muncul pada pengidap yang terjankit sindrom AIDS.Dengan fakta ini pengidap HIV tidak akan menularkan kepada karyawan lain, kecuali melalui hubungan seks atau jarum suntik.
Munculnya berbagai penyakit akan terlihat pada pengidap yang sudah memasuki stadium AIDS, seperti penyakit TB, paru-paru, liver, dan hepatitis.Menurut dia, yang terpenting adalah perusahaan memberi informasi yang tepat agar jangan sampai menularkan penyakitnya, menjaga lingkungan yang bersahabat, sehingga produktivitas tetap terjaga.

Pengidap HIV/AIDS pada usia produktif mencapai 25%, di antaranya dari kalangan pegawai negeri sipil, TNI, maupun karyawan swasta. Mereka perlu mendapat prioritas dalam pencegahan, terutama para pekerja yang ditempatkan terpisah jauh dari keluarganya selama berbulan-bulan.“Biasanya pekerja semacam itu rentan terkena AIDS karena melakukan kegiatan seksual,” lanjut Nafsiah.Pengusaha sadar. Sementara itu pada kesempatan yang sama Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Sofjan Wanandi menambahkan, kesadaran tentang pentingnya penanggulangan HIV/AIDS merupakan tanggung jawab bersama. Perusahaan bisa membantu melakukan sosialisasi melalui program-program pelatihan kepada karyawannya. Sebab dalam kasus HIV/AIDS adalah masalah bersama dan tidak bisa dipecahkan secara parsial.“Kita tahu HIV/AIDS masalah bersama. Jangan sampai dianggap hal biasa, ternyata di kemudian hari sudah terlambat pencegahannya,” katanya.

Namun Sofjan mencoba memandang realitas pada masa krisis global seperti ini, perusahaan lebih mengutamakan keberlangsungan operasional perusahaan. Bisa jadi program seperti penanggulangan AIDS bisa tidak menjadi prioritas, tapi sebenarnya bisa disisipkan di antara program lainnya tanpa menambah beban biaya.
Sementara, Shinta Widjaja-Kamdani bos Sintesa Group yang juga ketua tujuh perusahaan yang bergabung dalam Indonesian Business Coalition on AIDS (IBCA) sejak akhir tahun lalu menyatakan sudah menjalankan kebijakan peduli HIV/AIDS di tempat kerja.Ketujuh perusahaan tersebut adalah Sintesa Group, PT Gajah Tunggal, Sinar Mas Group, Chevron Indo Asia, PT Freeport Indonesia, British Petroleum, dan PT Unilever Indonesia Tbk.

Ketua IBCA Shinta Widjaja-Kamdani.menyatakan sejak akhir tahun 2007, para pengusaha dalam IBCA berjanji tidak akan memecat para pekerja yang terdeteksi positif HIV/AIDS.“Cita-cita IBCA adalah menghentikan penyebaran HIV/AIDS melalui program yang efektif di tempat kerja. Fokus utamanya adalah peningkatan kepedulian, pencegahan, perhatian, dukungan, dan pengobatan bagi semua pekerja,” ujarnya.Untuk merealisasi cita-cita itu, kebijakan yang akan ditempuh IBCA itu antara lain melakukan kebijakan nondiskriminasi terhadap pekerja dengan HIV/AIDS. Tidak ada kewajiban tes HIV/AIDS dalam proses perekrutan.“Perusahaan juga akan membantu pekerja yang positif HIV untuk mendapat akses pengobatan,” kata Shinta, yang mulai aktif di dunia AIDS tahun 1993 dengan mendirikan Yayasan AIDS Indonesia. Shinta mengatakan, AIDS kini sudah menjadi masalah di dunia bisnis sebab penelitian terakhir memperkirakan bahwa di negara berkembang, dengan tingkat infeksi HIV/AIDS cukup tinggi.“Untuk menangani HIV/AIDS di tempat kerja, rata-rata perusahaan harus mengeluarkan 5,9% dari nilai total gaji yang mereka bayarkan,” papar Shinta.

Sementara itu di tempat terpisah, Direktur PT Gadjah Tunggal Catherina Wijaya mengungkapkan, perusahaannya sudah menaruh perhatian khusus pada AIDS sejak tahun 2003.Alasannya, produsen ban itu kini memiliki 10.000 karyawan. Sebanyak 99,6% merupakan pria usia seks produktif dan berisiko. Catherina juga menyatakan, perusahaannya tidak akan memaksakan karyawannya melakukan tes HIV.Kalaupun ada karyawannya yang tertular HIV, dia berjanji tidak akan memecat. Malah dia akan membantu karyawan tersebut memperoleh akses pengobatan.
Kebijakan serupa juga dianut oleh PT Unilever Indonesia. Josef Bataona mengatakan, perusahaannya sudah lama terlibat aktif dalam pencegahan HIV.“Unilever Indonesia tidak mewajibkan calon karyawannya melakukan tes HIV. Selain itu, ada kebijakan yang melarang pemecatan karyawan hanya karena dia terinfeksi HIV,” tegasnya.
Langkah IBCA ternyata menuai hasil positif, per 3 Desember akan masuk 8 anggota baru perusahaan kecil dan menengah. Selain melakukan pelatiha kepada top manajemen, perusahaan besar akan membantu perusahaan kecil/menengah menjalankan program cerdas HIV di tempat kerja.

Melihat kepedulian pengusaha-pengusaha kelas kakap tersebut maka harapan bagi Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) untuk bisa mendapatkan hak menghidupi diri dengan bekerja belumlah padam.

Jaminan Kualitas IRC  

Posted by IRC dan Smak2 in




Sejak tahun 1970 sampai sekarang dipakai pada semua merek sepeda motor di Indonesia sebagai ban orisinil dan paling banyak dipilih oleh pemakai sepeda motor untuk penggantian ban.
Diproduksi oleh PT GAJAH TUNGGAL Tbk dengan teknologi IRC Jepang. Setiap model ban dirancang, diuji dan diproduksi dengan teknologi terkini dan jaminan kualitas.
Terbukti kehandalannya dan unggul dalam pengendalian, keamanan dan kenyamanan, dan sangat ekonomis karena umur pakai yang lebih panjang.
Gunakanlah selalu ban IRC. Mulai dari sepeda motor melaju, anda dapat segera menaklukkan lintasan dengan KEHANDALAN dan KENYAMANAN yang selalu terjamin. Kepuasan akan didapatkan mulai dari putaram pertama sampai habis umur pakainya.

Tips Pemakaian Ban  

Posted by IRC dan Smak2 in





Gunakan ban dengan ukuran yang ditetapkan produsen sepeda motor.
Pilih kembangan ban sesuai lintasan dan aplikasi.
Berat beban tidak melebihi batas.
Hindarkan ban dari ,imyak, cairan kimia, panas tinggi dan benda tajam.
Bersihkan kerikil atau benda asing yang terselip di alur ban.
Periksa tekanan angina secara periodic, tambahkan atau kurangi angina bila perlu.
Periksa batas keausan ban (yang ditandai dengan lambang Δ pada bagian samping ban). Segera ganti dengan ban baru bila sisa kedalaman alur ban mencapai 0,8 mm demi keselamatan anda.